gema solawat

Peringati Maulid Nabi Muhammad Saw., dan Milad Luthfunnajah, Pesma An Najah Gelar Gema Sholawat

AnnajahNews – 19 September 2024 — Pada malam Kamis yang lalu, Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah berhasil menggelar acara Gema Sholawat dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan Milad Luthfunnajah yang ke-10. Acara yang bertajuk “Menumbuhkan Jiwa Harmoni dalam Kiprah Maulid Nabi” ini dilaksanakan dengan meriah di Masjid Baitul Mu’min, dihadiri oleh ratusan santri, anggota masyarakat, dan penggemar seni hadrah.

Rangkaian acara dimulai dengan Mauidoh Hasanah oleh Pengasuh Pesma An Najah, dalam sambutannya, menekankan pentingnya acara ini sebagai momentum untuk merenungkan ajaran-ajaran Nabi dan menumbuhkan rasa cinta serta persatuan di antara umat. “Kami ingin menjadikan acara ini sebagai wadah untuk memperkuat ukhuwah dan meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. Mari kita tingkatkan cinta kita kepada Nabi dengan mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari,”

Acara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sholawat yang dipimpin oleh santri, menggugah semangat dan kehangatan di antara para peserta. Suara merdu dan syahdu memenuhi masjid, menyatukan hati dan jiwa dalam mengagungkan nama Nabi. Peserta dari berbagai usia tampak antusias mengikuti rangkaian sholawat, yang menandakan betapa besarnya cinta mereka terhadap Nabi Muhammad SAW.

Tak hanya itu, peserta juga diajak untuk berdoa bersama, memohon kepada Allah SWT agar masyarakat diberkahi dengan kedamaian dan keharmonisan. Suasana khidmat terasa saat setiap orang menutup mata, menyatukan harapan dan doa untuk masa depan yang lebih baik.

Acara ini juga menjadi kesempatan bagi santri dan warga untuk saling berkenalan dan berbagi pengalaman. Banyak peserta yang menyatakan rasa syukur bisa berpartisipasi dalam perayaan yang penuh makna ini. “Saya merasa sangat terinspirasi dan termotivasi setelah mengikuti acara ini. Semoga kita semua bisa mengamalkan ajaran Nabi dalam kehidupan sehari-hari,” ujar salah satu santri.

Sebagai penutup, acara Gema Sholawat ini diakhiri dengan pembacaan doa bersama, mengharapkan agar semangat harmoni terus terjalin di antara seluruh peserta. Pesma An Najah berkomitmen untuk terus menyelenggarakan kegiatan-kegiatan serupa, sebagai bentuk cinta kepada Nabi dan upaya untuk menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat.

Dengan kesuksesan acara ini, Pesma An Najah berharap dapat terus berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis, serta mengajak semua pihak untuk bersatu dalam misi mencintai dan mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mari bersama-sama kita jaga dan perkuat ukhuwah di tengah masyarakat demi masa depan yang lebih baik! (Annisa Lutfiana)

pagar kenabian

“Mengintip Makna dari Celah Pagar Kenabian”

Oleh: Iis Sugiarti

Puisi “Pagar Kenabian” Karya Sofyan RH. Zaid: Manifestasi Sastra Pesantren Kontemporer

Membaca buku kumpulan puisi “Pagar Kenabian” karya Sofyan RH. Zaid kita akan disuguhi puisi-puisi yang secara estetik mempunyai keunikan tersendiri dan terbilang keluar dari konvensi perpuisian yang telah ada. Mengapa demikian? mari kita lihat bentuk fisik puisi “Ziarah”, berikut:

ZIARAH

dari kubur ke kubur # diri hancur dan lebur
bunga kenanga gugur # kicau burung melipur
:aku siapa? # kau siapa?
siapa nama? # siapa sukma

aku dihempas daun # seperti butiran embun
tersungkur ke nisan # air mata berserakan
rintih menulis dosa # usia yang luka
baris demi baris # ingatan jadi giris
;ada yang tak terungkap # sebab tak sanggup mengucap

dari kubur ke kubur # badan pun tanah kapur

2013

Secara eksplisit telah tampak dalam puisi tersebut terdapat perbedaan secara fisik dengan puisi-puisi kontemporer lainnya. Yakni adanya tanda pagar di tengah-tengah kalimat sebagai pembatas dan penggunaan rima yang sama antara sebelum dan sesudah tanda pagar. Hal tersebut membangun kekuatan estetik yang unik dan enak dibaca. Sofyan menyebutnya “Puisi Nadham dalam Tanda Kutip”.

Nadham atau ‘nazam’ menurut KBBI adalah puisi yang berasal dari Parsi, terdiri atas dua belas larik, berima dua-dua atau empat-empat, isinya perihal hamba sahaya istana yang setia dan budiman. Di dalam mukodimah Pagar Kenabian Sofyan, menyebutkan bahwa nadham subur berkembang di pesantren dan memiliki fungsi penting dalam kurikulum pesantren. Dalam hal ini adalah penggunaan kitab-kitab yang berbentuk nadham sebagai bahan ajar untuk santri.

Beberapa waktu lalu Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto mengadakan Lomba Cipta Esai Nasional yakni Pesantren Menulis 3, dengan mengangkat tema “Membangkitkan Sastra Pesantren”. Yang kemudian lahirlah buku antologi esai dengan judul “Revitalisasi Sastra Pesantren”. Setelah saya baca, saya berkesimpulan bahwa sebagian besar penulis menyampaikan bahwa nadham adalah akar dari kesusastraan sastra pesantren di Indonesia. Yakni karya-karya para ulama yang ditulis dalam bentuk nadham, seperti Nadham Al-Fiyah, Nadham ‘Imrithi, Burdah, Diba’, Al Barzanji, dsb. Kebiasaan santri membaca nadham-nadham tersebutlah yang memberikan spirit santri dalam bersastra. Seperti yang dikatakan oleh A’yat Khalili (Moh. Roqib, Dkk: 2016) dalam esainya menyebutkan,

“Segala materi dan pelajaran (di pesantren) sampai ke norma-norma selalu menyimpan sentuhan nilai sastrawi, apalagi pada kitab-kitab yang dikaji, berisi syiiran, burdah, nadhaman sebagai suatu formasi dan materi pembiasaan bersyair, bershalawat,  menyanyi/melagukan/memuji, memaknai, menerjemah, memahami, dan menuliskan. Mengenai proses perkembangan tersebut berekesesuaian dengan pengetahuan yang ditemukan, dibaca, dan diterima santri dari berbagai sisi-sisi kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, nilai-nilai estetis (sastrawi) telah bersama santri sejak mengenal pesantren.”

Hal tersebut mengindikasikan bahwa kitab-kitab yang ditulis dalam bentuk Nadham atau Syiir telah mempengaruhi geliat sastra di pesantren, yang kemudian muncul istilah Sastra Pesantren dengan berbagai macam sudut pandang.

Menurut Swingewood (Faruk, 2014) setiap penulis bekerja dalam suatu tradisi, suatu kebudayaan sastra yang diwarisi, dan karyanya sendiri akan menunjukkan dengan berbagai cara pengaruh dari latar belakang tersebut. Jika Penayir Sofyan RH Zaid menuliskan puisi nadham seperti yang terdapat dalam buku Pagar Kenabian, maka tidaklah mengherankan, karena secara historis beliau berlatar belakang santri di Pesantren Annuqayah Madura, yang telah terbiasa melafalkan nadham, dan mendalami ilmu agama serta tasawuf. Dengan lahirnya Pagar Kenabian maka Penyair Sofyan RH Zaid telah melakukan proses reflektif terkait pemahaman bagaimana ia menyerap suatu tradisi dan darinya mengembangkan suara otentiknya sendiri, gagasan dan pandangannya sendiri mengenai manusia, Tuhan dan alam melalui puisi pagarnya atau yang disebutnya puisi nadham.

Bagi yang awam dengan istilah nadham mungkin ini akan terasa aneh, bisa diterima-terima saja, atau menggugat penggunaan tanda pagar yang tidak lazim digunakan dalam konvensi penulisan puisi ataupun karya tulis lainnya. Sedangkan untuk kalangan pesantren, pertama bagi yang paham benar terkait dengan tata cara penulisan nadham dengan ilmu ‘Arudh-nya maka akan mempermasalakan pelabelan nama nadham dalam puisi Sofyan, karena puisi-puisi yang dituliskan Sofyan tidak menggunakan kaidah ilmu’Arudh. Puisinya cenderung bebas tidak terikat secara makna, baris dan suku kata, hanya dibatasi dengan pagar dan rima yang sama sebelum dan sesudah tanda pagar.

Seperti bantahan Raedhu Basha dalam esainya yang pada intinya Puisi Sofyan tidaklah tepat jika dilabeli sebagai Puisi Nadham karena tidak menggunakan kaidah ilmu ‘Arudh. Sekalipun Raedhu mengakui dalam esainya yang termaktub di buku Revitalisasi Sastra Pesantren, Raedhu mencontohkan Sofyan RH Zaid sebagai salah satu penyair yang menulis puisi khas santri, yakni melakukan percobaan tanda pagar (#) menirukan bait nadham. Kedua, akan mengapresiasi karya tersebut sebagai puisi modifikasi dari puisi nadham klasik menjadi sebuah karya sastra pesantren kontemporer yang relevan dengan kebudayaan kesusastraan hari ini di Indonesia. Maka dari itu kata pelabelan Nadham pada puisi Sofyan janganlah diartikan dengan mentah-mentah. Karena puisi dengan model tersebut, adalah Puisi Nadham dalam Tanda Kutip, seperti yang disebutkan Sofyan dalam mukodimah buku Pagar Kenabian.

Meski mendapat berbagai macam kritikan oleh penulis-penulis lain terhadap gaya penulisan Sofyan yang secara konvensi berbeda dari puisi-puisi yang biasanya. Namun karya tersebut patut dipresiasi dan saya rasa penting dibahas sebagai salah satu genre baru dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Selain itu, dengan hadirnya Pagar Kenabian Karya Penyair Sofyan RH Zaid telah membawa angin segar bagi geliat sastra pesantren kontemporer.

Dari Sabda Kebenaran hingga Sabda Keselamatan

Apa yang menjadi alasan Sofyan memberi judul bukunya “Pagar Kenabian”? Tentunya dalam hal ini Sofyan tidak serta merta menamakan demikian tanpa ada maksud atau filosofi tertentu. Meski saya belum tahu alasan penyair memilih nama tersebut, saya akan mencoba mengintepretasi menurut persepsi saya. Pagar adalah  sesuatu yang digunakan untuk membatasi (mengelilingi, menyekat) pekarangan, tanah, rumah, kebun, dan sebagainya. Simbolnya adalah (#). Kata “nabi” mendapat awalan ke- dan akhiran kan- menjadi “kenabian”, maka “kenabian” lebih merujuk pada sifat yang berkenaan dengan nabi. Misalnya jujur, amanah, komunikatif, cerdas, dan pesan-pesan yang sifatnya prinsipil maupun yang universal.

Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa Pagar Kenabian menurut saya adalah bagaimana kita manusia mencapai tujuan yang satu (dalam hal ini Rumah Tuhan) adalah dengan cara melampaui pagar yang menjadi batas antara yang kelam dan yang terang. Kelam disini merujuk kepada persifatan manusia yang materialistik, sedangkan yang terang adalah manusia yang telah terlimpahkan kebijaksanaan.

Bagaimana cara melampaui pagar tersebut?, yakni dengan menginternalisasikan sifat kenabian ke dalam diri kita dan direalisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi khairu ummah seperti yang diungkapkan dalam kajian Filsafat Profetik. Sehingga selamat menuju Rumah Tuhan.

Di dalam buku kumpulan puisi “Pagar Kenabian”, terdapat empat sabda, yakni Sabda Kebenaran, Sabda Kesunyian, Sabda Kebijaksanaan dan Sabda Keselamatan. Membaca sabda-sabda tersebut secara berurutan seperti mata rantai yang tak terputus. Keempatnya harus dilalui sebagai jalan menuju keselamatan.

Martin Heidigger mengatakan bahwa puisi sejati merupakan fondasi atau asas bagi kebenaran (Stiftung der Wahrheit). Dalam hal ini, Sofyan telah berusaha dengan segenap jiwa dan batinnya dalam menyerap sari pati atau telah mengalami sublimasi dari pengetahuannya tentang filsafat, dimana filsafat merupakan kegiatan pencarian dan petualangan tanpa henti mengenai makna kebenaran dan kebijaksanaan dalam pentas kehidupan, baik tentang Tuhan Sang Pencipta, eksistensi dan tujuan hidup manusia, maupun realitas alam semesta (Zaprulkhan, 2016). Mari kita cermati puisi berikut:

KAMPUNG KEBENARAN

bercumbu di sumbu waktu # antara nafsu dan rindu
kemesraan menjadi api # meremangi bentala diri
gairah meledak menyebar # kita terkapar sadar
(Marx mengibarkan bendera # dari puncak menara
: kalian hanya mencintai dunia # tanpa tahu cara merubahnya)

kita berjalan menuju senja # melintasi siang yang bara
tubuh berubah warna # perlahan jadi kirana
melukis lapis awan # seperti darah keabadian
(Kant di atas bukit # mengacungkan jari ke langit
: mata tak akan sampai # tanpa akal yang melambai

kita berpendar pencar # memoles ufuk bergetar
burung pulang ke sarang # kembali menjadi pohon rindang
laron mulai menembang # angin menabuh genderang
(Plato memanggil gua # menulis kalimat pada dindingnya
:suluh menyebabkan bayangan # gerak menjadikan pengetahuan

matahari karam ke kelam # kita padam menjelma malam
menyimpan segala rahasia # kesenyapan melahirkan serigala
seketika bulan gerhana # kentongan membangunkan segala
(Farabi memainkan qanun # menari bersama daun
: mulanya adalah cahaya # kemudian tercipta semesta)

****
Dalam puisi tersebut sangat kental sekali nuansa filsafat yang disuguhkan Sofyan, dimana beberapa tokoh filsafat dan pemikiranya, yakni Marx, Kant, Plato dan Farabi dirangkum secara estetik dalam sebuah puisi. Dimulai dari Filsafat Barat sampai Filsafat Timur. Sampai pada kesimpulan pada bait terakhir puisi di atas yang mengandung sentuhan sufistik, bahwa nanti akan sampai pada yang hakekat, asalkan punya tujuan yang sama meski dengan jalan yang berbeda. Seperti lanjutan kutipan puisi berikut:

kita tersesat dalam gelap # meraba arah lalu lelap
paginya kita terpisah # mata mengucur kisah
kau tertinggal dalam gua # aku tersangkut di menara
kita percaya pada surga# kembali berjumpa suatu masa
: melihat Kant, mendengar Farabi # lalu mendaki puncak puisi

Agama: Jalan Akal dan Hati menuju Tuhan
Islam datang menyempurnakan akhlak dengan menempuh jalan Ilahiah. Sudah sejak lama perdebatan  mengenai kontradiksi antara akal dan hati, manakah yang dapat mengantarkan manusia mengenal Tuhannya. Dalam novelnya Hayy Ibnu Yaqzan, Ibnu Thufail menggambarkan bagaimana seorang anak yang hidup sendirian jauh dari peradaban di alam dapat menemukan jalan spiritual dengan mengandalkan penuh pada akalnya. Diduga kuat novel ini merupakan jawaban atas tuduhan Al-Ghazali yang menghukumi filosof atheis.

Berkat bukunya Talafut Al-Falasifah, orang-orang jadi takut untuk berfilsafat. Tetapi jika direnungi, para atheis, meski ada, hampir semuanya tidak menemukan jalan spiritual, mereka tidak mengenal tuhan meski mereka selalu hidup dengan akal. Jadi akal memerlukan rambu-rambu berpikir agar buah pemikirannya mencapai inti, mengenal Tuhan. Rambu-rambu tersebut ialah syari’at. Dalam dunia tasawuf sendiri, syari’at diibaratkan sebagai sebuah bahtera, kemudian Tuhan ada di tengah laut, untuk sampai pada Tuhan maka perlu menempuh perjalan, setelah baik syari’atnya, pelaku tasawuf menempuh jalan ke tengah laut (thariqah). Namun dengan apa sebuah bahtera sampai di tengah laut? Tentu dengan ilmu. Dan akal menempati posisi penting di sini. Dalam tahap pertama Hay Ibnu Yaqzan hidup di alam liar dan menemukan jalan spiritual, dia memulai dengan melakukan pengamatan inderawi, kemudian rasio dan ke tiga hatinya. Akal menempati posisi awal dalam upaya mengenal Tuhan. Kemudian banyak orang yang memposisikan diri di tengah, bahwa filsafat dan tasawuf itu tidak bertentangan. Ke duanya dapat saling menyempurnakan dalam upaya mengenal Tuhan. Lalu berfilsafat untuk mengenal Tuhan oleh muslim disamakan dengan ilmu hikmah. Sama halnya dengan penyair Sofyan RH Zaid, dalam beberapa puisinya dalam buku kumpulan puisi Pagar Kenabian, nampak ia memposisikan hati dan akal, filsafat dan tasawuf sebagai komponen-komponen yang membentuk perangkat penghubung kepada Tuhan. Kita tahu bahwa filsafat menempatkan akal sebagai ukuran kebenaran, jika akal mengiyakan maka itulah kebenaran. Namun dalam pandangan penyair, kebenaran dicari dengan dua alat ini, akal dan hati melalui jalan agama. Kita bisa melihatnya dalam puisi Butterfly Effect, Filsafat Agama dan Kampung kebenaran (Karl Marx dan Al-farabi). Demikian.

Penulis: Iis Sugiarti, kelahiran Kebumen, 08 Februari. Aktif di Komunitas Sastra Santri Pondok Pena Pesantren Mahasiswa An Najah, sekaligus juga sebagai Pimpinan Redaksi Buletin BENER FKUB Banyumas, inisiator Buletin JISDA (Jiwa Semangat Pemuda) untuk Jamiah Islam Syekh Daud Al Fathoni Yala Thailand (2016). Karyanya telah termaktub di beberapa buku antologi: Senandung Cinta Untuk Ibunda (Asrifa Publisher: 2014), Radar Lupus (Asrifa Publisher: 2014), 100 Makna Kasih Sayang Ayah Ibunda (Gerbang Sastra: 2014), Bisikan Kata Teriakan Jiwa (Meta Kata: 2014), Senarai Diksi (Pena House: 2014), Cerita Mei (Goresan Pena: 2014), Pelangi Syair Sang Penyair (Fornusa Indonesia: 2014), Puisi Menolak Korupsi Jilid 5 (Forum Sastra Surakarta: 2015), Memo untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra Surakarta: 2015), Dari Negeri Poci 6: Negeri Laut (Kosa Kata Kita: 2015), Balada Badut-Badut dan Rumput (Oase Pustaka: 2015), Memo Anti Terorisme (Forum Sastra Surakarta: 2016), Creative Writing (Kaldera:2016), Koran Harian Satelit Post (2015), Koran Madura (2016), Pilar Puisi 3 (SKSP: 2016), Dari Negeri Poci 7: Negeri Awan (Kosa Kata Kita: 2017), Seberkas Cinta (2017), Kidung Patani (2017), Kampus Hijau 3 (SKSP: 2017), Puisi Menolak Korupsi Jilid 6 (Forum Sastra Surakarta: 2017), Negeri Bahari (Dari Negeri Poci 8: Kosa Kata Kita, 2018), A Skyful of Rain (Banjabaru’s Day Literary Festival: 2018), Palung Tradisi (Perempuan Penyair Indonesia: 2019), dan karya cerpennya termaktub di Mawar yang Tertanam di Pelaminan Air Mata (Oase Pustaka: 2015), Isyarat (CV: Landasan Ilmu: 2016), Senandung Cinta dari Pesantren (Diva Press: 2022). Esainya termaktub di Revitalisasi Sastra Pesantren (An Najah Press: 2016) dan beberapa artikel ilmiahnya telah terbit di beberapa jurnal ilmiah (2021-2024). Penulis dapat dihubungi via Instagram: @iiz_oanes_99.

image of flowers, butterfly and snail in the garden

Siput di antara Bunga Matahari

Oleh: Zahwa Aprilita

20 Mei 2024, tertanda seorang siswi telah resmi lulus di sebuah sekolah negeri favorit di daerahnya. Berbekal segudang mimpi, ia mengumpulkan tekad untuk terus melangkah menuju tangga kehidupan selanjutnya. Hendak dibawa kemana impiannya? Bisakah ia menerbangkan sejuta harapan orangtua?

Aku, Zahwa Aprilita. Seorang anak tunggal yang kala itu dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Antara mengikuti kata hati atau kata orangtua. Ditambah setelah ditolak Perguruan Tinggi Negeri dan PTKIN sekaligus di jurusan impian, rasanya untuk membuka mata dan menyapa dunia sangat susah.

Aku malu, bahkan untuk sekadar mengatakan bahwa aku malu. Harapan dan impian seakan pupus. Rencana yang sudah aku susun dari lama hancur lebur diganti pertanyaan, “Terus mau gimana? Akhirnya lanjut dimana?”

Setelah berminggu-minggu meratapi ketidakberuntunganku, aku akhirnya kembali mulai menyusun rencana lagi. Jika satu jalan tertutup, aku akan membuka jalan yang lain. Aku mendaftar Seleksi Nasional Berbasis Tes di PTN dan Mandiri di PTKIN.

BOOMMMM!!! Siapa sangka, aku diterima di keduanya. Sekarang permasalahannya ada di restu orangtua yang berbeda pendapat. Mama menginginkanku untuk ambil Universitas Jenderal Soedirman, sedangkan bapak lebih ingin aku mengambil UIN SAIZU. Lagi dan lagi, bahkan di saat mimpi rasanya sudah di depan mata, dukungan terbesarku malah pecah menjadi dua kubu.

Berhari-hari melewati diskusi panjang dengan orangtua dan keluarga besar, aku akhirnya memutuskan untuk mengambil kesempatan berkuliah di Universitas Islam Negeri Prof. K.H Saifuddin Zuhri dengan jurusan Pendidikan Agama Islam. Belum sampai di situ, kebimbangan masih terus muncul. Mau kos atau mondok, ya?

Dan dari sinilah awal ceritaku masuk di Pesantren Mahasiswa An-Najah Purwokerto. Bapak memintaku untuk belajar mandiri dengan mondok, katanya supaya aku lebih bisa menghargai waktu, bisa berbagi dengan orang lain, dan tau bagaimana susahnya hidup tanpa orangtua. Pikirku saat itu akan mudah karena nantinya pasti ada banyak teman yang membantuku di sana. Aku tidak akan sendirian dan kesusahan.

Pertengahan Agustus, aku pemberangkatan pondok. Pertama kali yang ada dipikiranku bisa tidak ya berproses di sana nantinya, apalagi aku terbiasa hidup bersama orangtua yang perhatiannya hanya tertuju padaku. Sedangkan di pondok, aku harus mengikuti berbagai jadwal kegiatan dan berbaur dengan banyak orang dalam satu ruangan. Tapi lagi-lagi bapak menggugah rasa semangatku, mengatakan kalo di usiaku sekarang memang sudah saatnya memulai petualangan baru, di gerbang kehidupan baru, dengan orang-orang baru pula.

Dan sekarang, di sinilah aku berada. Zahwa Aprilita, anak tunggal yang dulunya masih ditimang, disiapkan berbagai kebutuhannya, ingin makan tinggal ambil, bisa tidur kapan saja, dan tidak perlu berbagi apapun dengan orang lain, harus berproses. Di tempat yang banyak orang sebut “Penjara Suci”, aku memulai satu persatu proses pendewasaan. Meniti tangga kehidupan dengan susah payah dan banyak kejutan di dalamnya, berbekal banyak harapan di pundak. Langkahku memang lambat, tapi aku berusaha untuk tidak merasa tertinggal dengan yang lainnya. Aku selalu membisikkan dalam hati, “Wahai aku, tidak ada yang berlaku keras ataupun memanjakanmu. Jika kamu lelah, maka istirahatlah. Perjalananmu masih panjang.”

*Naskah tersebut merupakan naskah juara satu hasil lomba kepenulisan dengan tema “Senangnya menjadi Santri An Najah” yang diselenggarakan oleh Panitia OPKIS 2024.

Ilustration: (istockphoto.com)

open-book-generate-ai_893737-2331

Menuntut Ilmu Tak Kenal Usia

Oleh: Dovianti Ainurohmah

Hari itu, Rabu, tanggal 26 Juni 2024, adalah hari yang tak terlupakan bagi saya. Saya berdiri di depan gerbang Pondok Pesantren An Najah Purwokerto, merasa gugup sekaligus bersemangat. Sebagai mahasiswa semester akhir di Universitas Islam Negeri Prof. K.H Saifuddin Zuhri Purwokerto, saya tak pernah menyangka bahwa saya akan memilih jalan ini—jalan yang membawa saya ke pesantren di usia 21 tahun.

Langit cerah sore itu seakan menyambut saya dengan senyum. Saya menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. Meninggalkan kenyamanan rumah untuk tinggal di pesantren adalah keputusan besar, terutama di usia yang lebih dewasa dibandingkan santri-santri lain yang kebanyakan masih remaja. Tetapi, saya yakin ini adalah pilihan terbaik untuk masa depan saya. An Najah bukan hanya sebuah pesantren; tempat ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya ilmu dan karakter, persis seperti yang dikatakan Abah, pengasuh pondok pesantren: “Pesantren kita harus selalu bersih sebersih hotel.” Kalimat itu bukan sekadar aturan kebersihan; bagi saya, itu adalah simbol disiplin dan tanggung jawab. Di sini, saya belajar bahwa menjaga kebersihan lingkungan adalah bagian dari iman, seolah-olah merawat pesantren seperti merawat hati dan jiwa sendiri.

Hari pertama di An Najah, saya dihadapkan pada rutinitas baru yang begitu padat. Dari subuh hingga malam, ada saja aktivitas yang mengisi hari-hari saya. Mulai dari pengajian, hafalan Al-Quran, hingga tugas menjaga kebersihan pondok. Tak jarang, saya harus menyesuaikan diri dengan santri-santri yang jauh lebih muda. Awalnya, saya merasa kikuk, seperti kakak tertua di antara mereka, tetapi lambat laun, saya merasa hangat dengan kehadiran mereka.

Waktu berlalu cepat, pada tanggal 8 Juli – 19 Agustus 2024 saat saya harus menjalani program KKN. Sehari setelah KKN berakhir, saya kembali ke pesantren. Pada tanggal 21 Agustus 2024, saya berdiri di depan gerbang An Najah, kali ini dengan rasa yang berbeda. Perasaan canggung yang dulu ada kini tergantikan dengan rasa nyaman. Saya tahu, ini adalah tempat yang tepat bagi saya untuk melanjutkan pencarian ilmu.

Kembali ke rutinitas pondok, saya menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Dari sekadar mendengarkan nasihat bijak dari Abah, hingga menghabiskan waktu belajar bersama santri lain. Setiap hari, saya merasa semakin dekat dengan tujuan hidup saya. Di An Najah, saya belajar bahwa menuntut ilmu tak mengenal usia. Saya belajar berbaur dengan teman-teman yang lebih muda, menemukan kebahagiaan dalam perbedaan, dan menemukan bahwa ilmu tak hanya diperoleh dari buku, tetapi juga dari pengalaman hidup sehari-hari.

Hari-hari berlalu, saya makin mantap dengan keputusan ini. Saya menyadari bahwa menjadi santri bukan hanya tentang belajar agama atau ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang menjadi manusia yang lebih baik, manusia yang peduli dengan lingkungan sekitar, manusia yang mampu merawat kebersihan, tidak hanya di luar tapi juga di dalam hati.

Di tengah kesibukan sebagai mahasiswa, saya tetap berusaha untuk istiqomah. Semoga perjalanan ini tak hanya menjadikan saya lebih bijaksana, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk belajar, karena menuntut ilmu adalah perjalanan seumur hidup.

*Naskah tersebut merupakan naskah juara dua hasil lomba kepenulisan dengan tema “Senangnya menjadi Santri An Najah” yang diselenggarakan oleh Panitia OPKIS 2024 Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto.

ilustration: open-book-generate-ai_893737-2331.jpg (626×351) (freepik.com)

6979615077_d11fa679e5

Rintihan Jendela: “Mengapa Engkau tidak Peka?”

Oleh: Abdur Rouf

Aku adalah kaca. Dibuat oleh manusia dengan tujuan menjalankan ibadah serta menghidupi keluarga bahagia. Aku dipotong, dipoles, dirancang dengan sedemikian rupa. Bingkai garis tepi mengelilingiku dan merubah namaku kaca menjadi jendela.

Aku ini sangat diperlukan dalam unsur-unsur bangunan. Dengan adanya aku, sirkulasi udara dan cahaya mempengaruhi kesehatanmu. Lantas mengapa kau selalu acuh denganku ketika hujan tiba? Air hujan masuk dalam ruangan dan aku dalam keadaan terbuka. Dalam keadaan gerah, kau selalu membukaku demi segarnya angin menerpamu. Namun kau seringkali melupakanku ketika sudah tidak dibutuhkan dan membiarkanku terbuka begitu saja hingga entah kapan aku ditutup kembali?

Salah satu temanku sudah sangat menderita. Kaku dan susah untuk ditutup menerpanya dalam menjalankan tugas sebagai salah satu unsur bangunan. Sampai kapan temanku menghadapi hari-harinya seperti itu?.

Harapanku tidak banyak. Cukup perhatikan aku dan jangan sampai apa yang dirasakan salah satu temanku merambat ke teman-temanku yang lainnya. Terima kasih orang baik✌️🤝

Tentang Penulis:

Aku adalah salah satu BANGLADES (Bangsa Lamongan Desa) yang menapakkan kaki di bumi Satria. Banyumas merupakan doa dan harapan untuk diriku agar bisa menjadi ‘banyu’ dan ‘emas’; menjadi sumber kehidupan (air) dan berharga tanpa ada nilai dan kualitas yang turun seperti halnya emas. Meskipun emas dijatuhkan, terinjak-injak, tercampur dengan kotoran, ia akan tetap bernilai dan berkualitas tanpa ada rasa dendam dan hina. Selamat berproses untuk kita semua 😊

Ilustration: images.fineartamerica.com

drawing-illustration-abstract-165992-wallhere.com

Sepucuk Nasihat; Khalwatun Khayat

Oleh: Nisa Faidatul Rohimah

Pada suatu waktu, setelah jamaah Magrib bersama Abah K.H. Prof. Dr. Mohammad Roqib, M.Ag., beliau memberikan sepucuk nasihat tentang kehidupan. “Kehidupan adalah merasakan satu kesenangan ke kesenangan yang lain,” ucap Abah. Beliau menjelaskan terkadang kehidupan itu terasa begitu cepat dan terkadang juga begitu lambat. Tergantung bagaimana kita menikmati atau tidaknya sebuah kehidupan.

 Abah menceritakan perjalanannya ketika hijrah dari Yogyakarta ke Purwokerto. Ketika sebelumnya beliau pulang-pergi untuk mengajar dari Yogyakarta ke Purwokerto yang kurang lebih beliau lakukan selama delapan tahun. Namun, beliau merasa hal itu berlalu begitu cepat. Namun, karena beliau diberi amanah untuk menjadi Wakil Rektor STAIN pada saat itu dan mengharuskannya untuk menetap di Purwokerto.

Pindah ke sebuah tempat baru bukanlah hal yang mudah. Kita harus meninggalkan rumah tempat di mana kita menghabiskan waktu bersama keluarga, meninggalkan kenangan-kenangan yang ada dan juga banyak teman-teman dekat. Begitu pula dengan Abah yang merasa begitu sedih karena harus meninggalkan tempat tinggalnya. Namun, karena tugas yang diembannya beliau pun tetap melangkahkan kaki di tanah Purwokerto.

Abah juga bercerita beliau yang lahir dari keluarga sederhana dulu pernah berharap bisa naik pesawat dan sekarang sudah bisa ke mana-mana dengan pesawat. Tidak terasa sudah lebih dari setengah abad usia Abah, ada banyak hal yang telah beliau lalui dalam kehidupan ini. Beliau mengatakan ketika kita merasakan khalwatun khayat (manisnya kehidupan) waktu akan berlalu begitu cepat. Tidak hanya tentang kehidupan, tapi juga khalwatun iman (manisnya iman), Islam, ‘ilmi ataupun kemanisan-kemanisan yang lainnya, karena hakikatnya ketika manusia merasakan kesenangan dalam sebuah hal, ia berharap untuk dapat merasakannya lebih lama lagi. Untuk merasakan kenikmatan suatu hal, yang perlu kita lakukan ialah mensyukuri dan menerima hal yang terjadi pada diri kita.

Purwokerto, 24 Agustus 2024

Tentang Penulis:

Nisa Faidatul Rohimah, atau yang lebih sering disapa Nisa merupakan seorang perempuan kelahiran Cilacap, 6 Maret 2004. Ia mulai aktif menulis karya fiksi pada saat pandemi. Cerpen dan puisi adalah tulisan pertama yang dibuatnya. Selain itu, ia juga pernah menulis beberapa novel di platfrom online. Saat ini, ia sedang menekuni tulisan non fiksi seperti esai ilmiah dan artikel jurnal. Buku terbaru yang diterbitkannya yaitu, “Pendidikan untuk Apa dan Siapa?” merupakan hasil antologi yang diikutinya pada saat perlombaan Sayembara Esai FTIK UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Saat ini ia berstatus sebagai mahasiswa di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, sekaligus sebagai santri di Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto dan aktif di Komunitas Pondok Pena.

Ilustratasi: www.walhere.com

Hope concept. Man paddle red boat to light in cave. illustration. fantasy oil painting

Manajemen Harapan

Oleh: K.H. Prof. Dr. Mohammad Roqib, M.Ag.*

Ada yang perlu kita renungkan dari “la’allakum tattaqun” agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa. Jadi ada menejemen harapan. Harapan manusia pasti ada, setinggi apapun, sekecil apapun, serendah apapun, pasti setiap manusia punya harapan.

Bagaimana agar kita meningkat kehidupannya maka berpandai-pandailah memanaj harapan. Jika orang mengatakan “Ah, apakah mungkin kalau kau orang desa, bisa menggapai cita-cita? Bolehlah komentar ini didengar tapi jangan sampai mematahkan semangat, bahwa kita akan tetap memelihara, menyemai, mengembangkan  harapan itu menjadi riil dan nyata dalam kehidupan.

Selama orang masih punya harapan maka orang tersebut masih mempunyai masa depan. Jika ada orang yang sudah putus harapan, maka kesengsaraan, kehinaan, akan menghadang dalam kehidupan. Jadi harapan ini penting. Allah punya iradah. Dengan mengikuti apa yang diwajibkan oleh Allah dan sifat Allah maka kita juga punya harapan. Harapan sebagai manusia untuk menjadi lebih baik, lebih meningkat. Kita harapannya bisa meniru jejak orang-orang sukses. Jika di sekitar kita ada orang yang telah diberi nikmat, jika itu kenikmatan ilmu, maka tempelkan untuk mendapatkan ilmu setinggi langit. Jika melihat kenikmatan orang yang diberi harta dan suka mendermakan harta bendanya, maka kejarlah rizki Allah dengan sekaligus merencanakan bahwa rizki yang didapat nanti akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan diri sendiri, orang-orang di sekitar dan semua masyarakat yang ada di lingkungan kita. Memberikan kenikmatan potensi ekonomi yang kita miliki kepada orang lain, adalah bagian dari manajemen harapan agar semakin hari semakin sejahtera. Ini namanya kecerdasan finansial atau fikih finansial. Jadi kehidupannya semakin hari semakin memiliki tingkat kesejahteraan. Kesejahteraan itu bukan untuk diri sendiri saja tetapi untuk orang-orang di sekitarnya yang dia cintai bahkan bagi masyarakat secara luas.

Jika kita berhadapan dengan pejabat, pemerintah, maka kita juga bisa punya harapan. Bahwa suatu saat nanti, ketika bisa memegang tampuk kepemimpinan, bisa mengambil kebijakan, menggerakan rakyat, menggerakan umat untuk satu titik tujuan utama yaitu mendapatkan ridho Allah dengan tingkat kemaslahatan berupa kesejahteraan yang meningkat, keadilan yang merata, dan mendapatkan tingkat prestasi serta kebahagiaan yang didamba.

Namun harapan itu jangan sampai dititikkan pada potensi material, tapi harus ditarik lurus terus ke atas sampai ke titik spiritual yaitu mendapat rahmat dan ridho Allah Swt. Jadi harapan ini banyak visinya. Misalnya, punya harapan untuk membuat sebuah gedung, taman, istana yang nyaman dan bisa bermanfaat  lagi untuk dirinya, masyarakat, dan semuanya ditujukan untuk meraih ridho Allah Swt. Jadi aspek seni, budaya, dengan keindahan rumah, taman, lukisan, khot, seni suara, lagu dan seterusnya diharapkan bisa berkembang terus, tapi titik sentral dari tujuannya adalah untuk mendapatkan rahmat dan ridho Allah.

Ini adalah salah satu upaya yang harus terus ditanamkan di dalam hati setiap individu muslim, tanpa kecuali, orang desa, kota, hanya tamatan SD atau sarjana, pascasarjana, ustad, santri, kiai, semua harus mengembangkan harapan-harapannya dan dimanaj jangan sampai berbenturan, tetapi harus serasi kepada satu titik. Saling menguatkan, saling melengkapi, dan ini menjadi bagian dari upaya untuk menguatkan tadi.

Jika ada kelemahan, penurunan semangat, dan lain sebagainya, berkonsultasilah kepada yang ahlinya. Tanya kenapa semangat kita turun, kenapa semangat kita melemah? maka nanti akan ada jalan keluar. Semangat dan harapan ini tidak hanya sekadar menjadi harapan namun akhirnya menjadi kenyataan dengan terus menerus semangat di dalam hati, di dalam jiwa dan di dalam kalbu “man jadda wajada” siapa yang giat pasti akan dapat, siapa yang memohon maka akan dikabulkan, siapa yang berikhtiar maka akan mendapatkan. Tahniah!

*Tulisan di atas merupakan renungan ngaji kehidupan bertajuk “Mutiara Hati” yang disampaikan oleh K.H. Prof. Dr. Mohammad Roqib, M.Ag.

Ilustrasi: https://media.istockphoto.com/id/1169704350/id/vektor

Wujudkan Lingkungan Pesantren yang Bersih Melalui Roan untuk Mencari Berkah Kyai

Oleh: Sofia Amelia Sari

Islam begitu menjujung tinggi kebersihan. Sampai terdapat hadits yang mengatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Ini berarti islam mengaitkan antara iman dengan kebersihan. Kaitan iman dengan kebersihan hakikatnya mendorong manusia untuk menjaga kebersihan. Baik kebersihan diri sendiri dan lingkungan. Faktanya terdapat orang yang tidak peduli dengan kebersihan lingkungan. Dalam lingkungan pesantren kebersihan tidak menjadi hal yang asing lagi. Kebanyakan pesantren justru tidak menerapkan kebersihan dilingkungannya. Ini menjadi hal yang sangat miris dengan kotornya lingkungan pesantren. 

Faktanya tercatat kurang lebih 29.043 pesantren yang ada di Indonesia. Dari jumlah pesantren tersebut pasti tidak semua dari mereka memiliki lingkungan pesantren yang bersih. Terdapat satu pesantren di Purwokerto yang begitu menjunjung tinggi kebersihan. Pesantren tersebut yaitu Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto. Di pesantren tersebut telah melakukan bersih-bersih lingkungan dengan istilah “roan”. Roan ini dilakukan setiap hari Minggu dengan lokasi yang berbeda-beda. Tujuanya adalah menjaga kebersihan lingkungan pesantren. 

(Potret kegiatan santri tengah roan ngecor salah satu bangunan di Pesantren Mahasiswa An Najah)

Sebagai seorang santri pasti tidak asing lagi dengan bersih-bersih lingkungan.  Santri juga menyadari apabila lingkungannya bersih maka akan menimbulkan kenyamanan bagi para santri sendiri. Dengan adanya roan, para santri diharapkan dapat menerapkan jiwa bersih pada diri sendiri. Para santri diharapkan mampu membangun kebersamaan melakuman kegiatan ini. Walaupun melelahkan, namun santri tetap semangat dalam melakukan roan. Dalam hal ini kebersihan menjadi hal utama yang diterapkan di lingkungan pesantren. Sudah seharusnya santri memiliki jiwa kebersihan yang tinggi. Dengan roan yang dilakukan santri tersebut dapat dibuktikan kebersihan pesantren sangat terjaga dengan baik. 

Selain karena kesadaran diri yang dimiliki oleh santri dalam melakukan roan, juga terdapat faktor figur kyai yang menjadi teladan bagi santrinya, sebagaimana dawuh K.H. Prof. Mohammad Roqib, M.Ag., yang selalu mengingatkan kepada santrinya bahwa “pesantren harus selalu bersih, sebersih hotel”. Dengan adanya pernyataan tersebut, santri diharapkan mampu melaksanakan dawuh (perintah) yang diperintahkan oleh sang kyai.  Kyai sendiri pasti menginginkan yang terbaik untuk para santri. Roan dinilai menjadi sesuatu yang tepat diterapkan dilingkungan pesantren. Terlebih telah diperintahkan secara langsung oleh kyai. Dengan lingkungan yang bersih akan menciptakan suasana yang indah di lingkungan pesantren. 

Dilihat dari segi kesehatan, roan menjadi olahraga rutin yang dilakukan santri setiap minggunya. Karena dengan melakukan roan maka tubuh santri akan bergerak dan menghasilkan keringat. Tubuh yang sehat akan didambakan oleh semua orang. Karena dengan kesehatan akan memudahkan dalam melakukan aktivitas. Misalnya estafet baru bata, estafet pasir dan lainnya. Tangan santri akan bergerak dan akan  menghasilkan keringat. Dengan menjaga kebersihan lingkungan secara tidak langsung akan menimbulkan kesehatan. 

Roan menjadi solusi terbaik dalam menjaga kebersihan lingkungan. Santri diharapkan mampu meneladani sunah sunah nabi dengan menjaga  lingkungan.  Sudah seharusnya sebagai seorang santri untuk menjaga kebersihan lingkungan.  Kunci dari kebersihan lingkungan adalah peduli. Dengan adanya rasa peduli maka kepekaan terhadap kebersihan akan muncul dengan sendirinya. Kesadaran ini harus dibangun dilingkungan pesantren. Terlebih dipesantren hidup dengan kebersamaan. Kebersamaan ini dapat tercipta melalui kegiatan roan yang dilakukan oleh para santri. 

Roan menjadi solusi tepat bagi santri untuk mencari keberkahan kyai. Dengan melakukan roan santri dapat menjadi lebih dekat dengan kyai. Tubuh sehat juga menjadi manfaat yang dihasilkan setelah melakukan roan,. Rasa kebersamaan dan saling bahu membahu menjadi manfaat yang didapatkan oleh seorang santri. Santri diharapkan mampu menjaga kebersihan lingkungan pesantren tempat mereka tinggal.

Penulis:

Sofi Amelia Sari, merupakan mahasiswa UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Saat ini penulis juga berstatus sebagai santri di Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto dan aktif di Komunitas Pondok Pena.

Pandemi Menyambangi Pelosok Negeri

Oleh: Hikmah Ali

Kehidupanku tak cukup mewah . Mengingat tempat ini yang jauh dari peradaban dan keramaian kota. Permainan-permainan kecil yang sederhana, telah membawaku larut dalam senyum yang tiada habisnya. Hati ini begitu menikmati suasana ini .

 Rumahku yang cukup sederhana, dari bambu dan kayu hutan,menjadi saksi bisu perjalanan kisah ini. Atapnya yang terbuat dari daun rumbia yang  dianyam, kemudian dijahit pada rangka rotan telah cukup menjadi tempat untuk berteduh dari panas dan hujan.Tetapi ketika aku menginjak kelas 5 SD rumah tempat tinggalku mengalami renovasi dengan mengganti atapnya menjadi genting karena dinilai lebih efektif.

Lereng gunung dan bukit-bukit menjadi pemandangan yang harus aku temui setiap harinya. Udara yang terkesan dingin menjadi rutinitas yang harus aku hadapi,terlebih ketika masuk musim penghujan .Hati ini selalu risau , kekhawatiranku terhadap bencana longsor menghantui pikiranku.Tak ada suara bising dari kendaraan bermotor ataupun suara deru mesin pabrik.karena memang tempatku yang terlalu jauh dari pusat keramaian.

Aku terbangun,rupanya  sinar matahari sudah mengintipku sembari tadi. Lewat lubang-lubang kecil bilik bambu kamarku yang nampaknya mulai rapuh dan menimbulkan banyak celah. Dia mencoba memecah suasana dan berusaha membangkitkanku.Akupun beranjak dari pembaringan dan melangkah mendekati lobang kotak ukuran 100 x 50 cm dikamarku.Lobang inilah yang biasa aku sebut dengan nama jendela.

Lobang yang aku beri nama sebagai jendela itu segera ku buka, pintunya yang terbuat dari kayu hutan perlahan ku dorong .Terlihat diluar matahari belum terlalu tinggi,namun sinarnya sudah cukup untuk menembus dinding kamarku yang terbuat dari anyaman bambu.Burung-burung berkicau seolah mereka menyambutku.Suara ayam jago milik tentangga terdengar bersautan dan berisik.Pandanganku masih kosong, perlahan kusandarkan lengan diantara jendela kecil ini.

“Mulai hari Senin besok, kegiatan pembelajaran dilaksanakan dari rumah masing-masing sesuai dengan anjuran pemerintah.Mengingat wabah virus covid-19 yah semakin merebak di negara kita ini.”,Ujar pak Suratman yang merupakan Guru kelas 6 SD disekolahku.

“Sampai kapan pak? “ ,tanya seorang murid yang duduk di bangku paling depan ,dia merupakan murid paling pandai di kelasku ini.

“Sampai waktu yang belum bisa ditentukan”

Jawaban dari pak Suratman tadi benar-benar membuat kami semua terdiam,bisu,tanpa suara. Tak ada yang memulai kata-kata,ruang kelas kami menjadi hening.Andi,yang merupakan murid paling nakal di kelaspun terdiam.Sejenak tanpa suara seolah semua murid setuju atas kekecewaan dalam hati masing-masing.

Keadaan menuntut kami untuk lebih bersabar,situasi ini memang tak menyenangkan.Bahkan bisa dikatakan sangat mengecewakan, bagimana bisa kami akan belajar dari rumah ? sedangkan buku pelajaran dalam satu kelas hanya ada satu saja,dan itupun merupakan buku ajar pegangan Guru.

Semua berharap semua ini akan cepat berlalu.Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi .Bagaimana kami bisa menerima pelajaran jarak jauh.Sedangkan untuk alat komunikasi didaerahku hanya mengandalkan kentongan.Listrik hanya mengalir pada jam tertentu saja ,kadang juga masih terkendala cuaca buruk yang mengharuskan dilakukan pemadaman.

Tempat kami jauh dari sentuhan teknologi yang banyak diceritakan buku-buku pelajaran di sekolah. Siapa yang mau membangun daerahku? Kalau bukan kami sendiri. Kesunyian malam selalu menemani. Hiburan-hiburan kecil,hanya itu yang mampu menghibur diri kami.

Aku ,Robi, Usman dan Yogi  pulang kerumah dengan wajah yang masam.Sesekali kami beristirahat ditengah perjalanan yang panjang.Jalan ini yang harus kami lalui setiap pagi dan siang. Jarak dari rumah ke sekolah sejauh 10 kilometer harus kami tempuh.Kaki-kaki mungil kami yang tanpa alas kaki,dipaksa melewati jalan yang berlumpur. Tak hanya itu,kaki ini juga harus dipaksakan untuk memijaki batu -batu kecil yang sedikit tajam.Kamipun sesekali harus menyebrangi sungai yang tanpa jembatan. Kami harus berpegang satu dengan yang lainnya, berjalan beriringan menyusuri rimbunan pohon diantara ladang- ladang .

Akhirnya kami semua sampai di gapura pintu masuk desa .Terpampang jelas sebuah tulisan “Desa Pesawahan” .Entah siapa yang memberi nama tempat ini dengan sebutan itu,aku tak cukup tahu . Sementara itu kami semua berpisah diujung perempatan untuk menuju kediaman masing-masing.

Aku yang seolah masih tak percaya akan hal ini.Dimana hari-hariku hanya mengerjakan sesuatu dirumah .Tanpa adanya pertemuan dengan teman-teman sekelasku.Ku buka lembaran-lembaran kusam yang biasa disebut dengan ‘buku.Perlahan aku mencoba menikmati dan menerima kenyataan. Meski tanpa bahan pelajaran yang baru,aku terus mengulang kembali materi yang tertulis di buku kusam ini.

Hal ini telah berlangsung cukup lama,aku dan yang lainnya terlalu lelah menanti kabar dari sekolah.Meski Ujian Nasional telah ditiadakan.Aku tetap menginginkan agar bisa menatap bapak Guru mengajar dihadapanku.

Hari itu seseorang datang kerumahku, menyampaikan sebuah pesan yang ditulis dalam lembaran kertas.

“Hari Senin depan sekolah akan dibuka kembali dengan menerapkan protokol kesehatan”

Tulisan dalam kertas tersebut membuat hatiku menangis bahagia.Aku yang selalu mengharapkan temu, akhirnya akan segera terwujud.  Rupanya orang yang memberikan surat tersebut adalah Pak Suratman yang merupakan wali kelasku disekolah.Aku gembira bukan main,sampai larut malam aku pun terus membayangkan pertemuanku hari esok.

Sekian lamanya aku jauh dari bangku sekolah.Suasana bising dalam kelasku yang telah lama hilang. Esok aku akan mendengarmu lagi.Tak sabar lagi mengingat pembelajaran daring takan bisa maksimal tanpa alat komunikasi internet.

“Nduk,sudah bangun belum?”

Terdengar suara ibu memanggilku.Rupanya aku terjebak dalam lamunan diantara jendela kecil kamarku ini.

“Sudah Bu, “

Sejenak suara ibu menghilang dan menjauh.Yah,pagi ini adalah hari kembalinya murid-murid kesekolah .Aku beranjak dari lamunanku dan bersiap menuju ke sekolah.

Seperti biasa, teman-temanku yang lain sudah menunggu di bawah gapura pintu masuk desa.Saat aku datang, terlihat raut muka mereka yang begitu bahagia.Akupun demikian.Senyumku tak pernah berhenti,hatiku berdebar kencang layaknya siswa baru yang akan memperkenalkan dirinya di depan kelas.

Ilustration :https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5502843/uji-coba-sekolah-tatap-muka-di-jateng-mulai-digelar-april-ini-daftarnya

Sesampainya disekolah , Untuk menghindari kerumunan Pak Suratman wali kelasku membagi beberapa kelompok belajar.Rupanya kegiatan belajar tidak sepenuhnya dilakukan dalam kelas.Himbauan pemerintah yang mengharuskan social distancing diterapkan dalam sekolahku.Pak Suratman menyebut namaku,Yogi,Angga ,Yuli,Andin dan Fatma untuk menjadi satu kelompok belajar yang berada di bawah pohon beringin depan kelasku.

Sementara itu,pak Suratman juga membagi teman-teman yang lain dalam beberapa kelompok kecil.Ada yang di teras kelas dan ada juga yang tetap di dalam kelas.Setelah itu beliau juga membagikan masker kain untuk kami gunakan.Pak Suratman mencontohkan bagaimana cara memakainya,kamisemua mengikuti arahannya dengan baik.

Kami menikmati hal ini,tak ada yang mengeluh.Aku sangat bahagia bisa kembali berdiri diantara teman-temanku.Kembali menerima pelajaran dari Guruku .Meski keadaan belum sepenuhnya pulih,kami disini bertekad untuk tetap menggelar kegiatan pembelajaran seperti biasa.Alat komunikasi kami sangat terbatas,dan jarak masih menjadi halangan .

Lewat pandemi virus ini,aku dapat merasakan kepedihan dalam batin.Memang , barangkali tuhan menciptakan kepedihan ini untuk kita lebih bersabar.Kerinduanku terhadap pembelajaran bisa terbalaskan.Rindu yang kini menjadi temu diantara wabah yang terus menjangkit.Semoga semua ini lekas berlalu dan pergi.

Karya :

Hikmah Ali Amrulloh

( Ujung angin tepi pantai )

Indikasi Metode Sorogan Khas Pesantren dalam Memperlambat Progresivitas Penyakit Alzheimer

Ilustration : https://www.gurusiana.id/read/nuruljubaedah/article/penerapan-metode-sorogan-3648342

Pesantren sebagai lembaga pendidikan non-formal memiliki metode pembelajaran yang khas salah satunya adalah soroganSorogan berasal dari kata sorog (bahasa Jawa) yang berarti menyodorkan. Sebab setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan Kyai atau pembantunya (asisten Kyai). Menurut Zamakhsyari Dhofier, yang mengatakan bahwa metode sorogan adalah metode pembelajaran di mana santri mendatangi Kyai yang akan membacakan beberapa baris al-Quran dan kitab berbahasa Arab disertai terjemahan dengan menggunakan bahasa tertentu yang pada akhirnya santri harus mengulangi seperti yang dilakukan oleh Kyainya secara bergiliran (Adib, 2021), jika santri salah dalam bacaannya maka Kyai atau guru akan langsung mengoreksi saat itu juga sehingga lebih efektif (Sumardi, 2012).

Pada intinya metode sorogan adalah metode pembelajaran yang mengandalkan kemampuan memahami dan mengingat kitab atau al-Quran yang sudah dikaji bersama Kyai. Setelah itu, santri mengulang atau membacakan kembali hal tersebut di hadapan Kyai. Karena ada proses mengingat ini lah metode sorogan memiliki kelebihan tersendiri salah satunya terindikasi dapat memperlambat progresivitas penyakit alzheimer.

Penyakit Alzheimer

Penyakit alzheimer adalah penyakit yang ditandai dengan penurunan memori, bahasa, pemecahan masalah dan kemampuan kognitif lainnya yang mempengaruhi seseorang dalam menjalankan kegiatan sehari-hari (Gloria, 2021). Ciri khas dari penyakit ini adalah hilangnya memori jangka pendek yang akan berpengaruh pada produktivitas pasien (Gemiralda, 2019) karena yang diserang adalah bagian otak yang mengontrol pikiran, ingatan dan bahasa.  Dalam Islam penyakit alzheimer merupakan tanda kebesaran Allah, menunjukan bahwa manusia itu memiliki banyak kelemahan dan kekurangan.

Indikasi Sorogan dalam Memperlambat Progresivitas Penyakit Alzheimer

Menurut Home Lifestyle Health Concerns dalam penelitiannya membuktikan bahwa penguasaan banyak bahasa asing dapat meminimalisasi progresivitas penyakit alzheimer karena mampu meningkatkan kapasitas otak untuk berfikir dan memori (Hakim & Chiani, 2019, hal. 332).

Pengenalan bahasa asing merupakan salah satu yang menyebabkan otak mendapat rangsangan positif karena bahasa asing menstimulus otak maka neuron atau sel otak yang merespon dan bekerja. Sel-sel otak yang mendapat rangsangan dari bahasa asing akan mengaitkan dengan sel otak yang lain (Hakim & Chiani, 2019, hal. 335)

Ketika sel-sel otak tersebut diasah dengan baik maka kinerjanya akan baik pula, pun sebaliknya (Hakim & Chiani, 2019, hal. 335). Hal tersebut mengindikasikan bahwa metode sorogan di pesantren-pesantren juga dapat memperlambat progresivitas penyakit alzheimer karena sel-sel dalam otak diasah dengan baik sehingga terjadi penguatan memori.

Seperti yang disampaikan oleh Enung Asmaya, Dosen Psikolog UIN Saizu Purwokerto sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah bahwa sorogan merupakan ilmu yang ada di BKI (Bimbingan Konseling Islam) dan modelnya dalam bentuk privat. Seseorang yang menggunakan model privat biasanya berfikir lebih maksimal karena terdapat tanggung jawab pribadi sehingga dapat menguatkan memori, memiliki persepsi, daya juang serta motivasi yang bagus.

Selain itu di dalam metode sorogan juga terdapat pengulangan yang dilakukan secara intens dan mendalam. Pembelajaran yang efektif salah satunya berawal dari strategi pembelajaran yang lebih fokus pada pengolahan kemampuan berfikir dengan cara menghafal atau mengulang secara intensif karena pikiran akan tetap menjaga kosa kata sebelumnya. Penggunaan strategi memori dalam pembelajaran terutama sorogan memberikan manfaat yang cukup besar bagi santri yaitu termaksimalkannya fungsi otak.

Jadi itulah penjelasan mengenai bagaimana metode Sorogan terindikasi dapat memperlambat progresivitas penyakit alzheimer yang tidak bisa disembuhkan hingga saat ini. Terlebih di prediski bahwa pada tahun 2050, akan ada sekitar 100 juta jiwa penderita alzheimer. Dalam islam, penyakit ini merupakan kebesaran tuhan, menunjukan bahwa manusia adalah mahluk yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Namun, manusia termasuk santri seyogyanya harus berikhtiar dalam memperlambat progresivitas penyakit ini.

Penulis: Dwi Aryanti