Aku adalah kaca. Dibuat oleh manusia dengan tujuan menjalankan ibadah serta menghidupi keluarga bahagia. Aku dipotong, dipoles, dirancang dengan sedemikian rupa. Bingkai garis tepi mengelilingiku dan merubah namaku kaca menjadi jendela.
Aku ini sangat diperlukan dalam unsur-unsur bangunan. Dengan adanya aku, sirkulasi udara dan cahaya mempengaruhi kesehatanmu. Lantas mengapa kau selalu acuh denganku ketika hujan tiba? Air hujan masuk dalam ruangan dan aku dalam keadaan terbuka. Dalam keadaan gerah, kau selalu membukaku demi segarnya angin menerpamu. Namun kau seringkali melupakanku ketika sudah tidak dibutuhkan dan membiarkanku terbuka begitu saja hingga entah kapan aku ditutup kembali?
Salah satu temanku sudah sangat menderita. Kaku dan susah untuk ditutup menerpanya dalam menjalankan tugas sebagai salah satu unsur bangunan. Sampai kapan temanku menghadapi hari-harinya seperti itu?.
Harapanku tidak banyak. Cukup perhatikan aku dan jangan sampai apa yang dirasakan salah satu temanku merambat ke teman-temanku yang lainnya. Terima kasih orang baik✌️🤝
Tentang Penulis:
Aku adalah salah satu BANGLADES (Bangsa Lamongan Desa) yang menapakkan kaki di bumi Satria. Banyumas merupakan doa dan harapan untuk diriku agar bisa menjadi ‘banyu’ dan ‘emas’; menjadi sumber kehidupan (air) dan berharga tanpa ada nilai dan kualitas yang turun seperti halnya emas. Meskipun emas dijatuhkan, terinjak-injak, tercampur dengan kotoran, ia akan tetap bernilai dan berkualitas tanpa ada rasa dendam dan hina. Selamat berproses untuk kita semua 😊
Kehidupanku tak cukup mewah . Mengingat tempat ini yang jauh dari peradaban dan keramaian kota. Permainan-permainan kecil yang sederhana, telah membawaku larut dalam senyum yang tiada habisnya. Hati ini begitu menikmati suasana ini .
Rumahku yang cukup sederhana, dari bambu dan kayu hutan,menjadi saksi bisu perjalanan kisah ini. Atapnya yang terbuat dari daun rumbia yang dianyam, kemudian dijahit pada rangka rotan telah cukup menjadi tempat untuk berteduh dari panas dan hujan.Tetapi ketika aku menginjak kelas 5 SD rumah tempat tinggalku mengalami renovasi dengan mengganti atapnya menjadi genting karena dinilai lebih efektif.
Lereng gunung dan bukit-bukit menjadi pemandangan yang harus aku temui setiap harinya. Udara yang terkesan dingin menjadi rutinitas yang harus aku hadapi,terlebih ketika masuk musim penghujan .Hati ini selalu risau , kekhawatiranku terhadap bencana longsor menghantui pikiranku.Tak ada suara bising dari kendaraan bermotor ataupun suara deru mesin pabrik.karena memang tempatku yang terlalu jauh dari pusat keramaian.
Aku terbangun,rupanya sinar matahari sudah mengintipku sembari tadi. Lewat lubang-lubang kecil bilik bambu kamarku yang nampaknya mulai rapuh dan menimbulkan banyak celah. Dia mencoba memecah suasana dan berusaha membangkitkanku.Akupun beranjak dari pembaringan dan melangkah mendekati lobang kotak ukuran 100 x 50 cm dikamarku.Lobang inilah yang biasa aku sebut dengan nama jendela.
Lobang yang aku beri nama sebagai jendela itu segera ku buka, pintunya yang terbuat dari kayu hutan perlahan ku dorong .Terlihat diluar matahari belum terlalu tinggi,namun sinarnya sudah cukup untuk menembus dinding kamarku yang terbuat dari anyaman bambu.Burung-burung berkicau seolah mereka menyambutku.Suara ayam jago milik tentangga terdengar bersautan dan berisik.Pandanganku masih kosong, perlahan kusandarkan lengan diantara jendela kecil ini.
“Mulai hari Senin besok, kegiatan pembelajaran dilaksanakan dari rumah masing-masing sesuai dengan anjuran pemerintah.Mengingat wabah virus covid-19 yah semakin merebak di negara kita ini.”,Ujar pak Suratman yang merupakan Guru kelas 6 SD disekolahku.
“Sampai kapan pak? “ ,tanya seorang murid yang duduk di bangku paling depan ,dia merupakan murid paling pandai di kelasku ini.
“Sampai waktu yang belum bisa ditentukan”
Jawaban dari pak Suratman tadi benar-benar membuat kami semua terdiam,bisu,tanpa suara. Tak ada yang memulai kata-kata,ruang kelas kami menjadi hening.Andi,yang merupakan murid paling nakal di kelaspun terdiam.Sejenak tanpa suara seolah semua murid setuju atas kekecewaan dalam hati masing-masing.
Keadaan menuntut kami untuk lebih bersabar,situasi ini memang tak menyenangkan.Bahkan bisa dikatakan sangat mengecewakan, bagimana bisa kami akan belajar dari rumah ? sedangkan buku pelajaran dalam satu kelas hanya ada satu saja,dan itupun merupakan buku ajar pegangan Guru.
Semua berharap semua ini akan cepat berlalu.Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi .Bagaimana kami bisa menerima pelajaran jarak jauh.Sedangkan untuk alat komunikasi didaerahku hanya mengandalkan kentongan.Listrik hanya mengalir pada jam tertentu saja ,kadang juga masih terkendala cuaca buruk yang mengharuskan dilakukan pemadaman.
Tempat kami jauh dari sentuhan teknologi yang banyak diceritakan buku-buku pelajaran di sekolah. Siapa yang mau membangun daerahku? Kalau bukan kami sendiri. Kesunyian malam selalu menemani. Hiburan-hiburan kecil,hanya itu yang mampu menghibur diri kami.
Aku ,Robi, Usman dan Yogi pulang kerumah dengan wajah yang masam.Sesekali kami beristirahat ditengah perjalanan yang panjang.Jalan ini yang harus kami lalui setiap pagi dan siang. Jarak dari rumah ke sekolah sejauh 10 kilometer harus kami tempuh.Kaki-kaki mungil kami yang tanpa alas kaki,dipaksa melewati jalan yang berlumpur. Tak hanya itu,kaki ini juga harus dipaksakan untuk memijaki batu -batu kecil yang sedikit tajam.Kamipun sesekali harus menyebrangi sungai yang tanpa jembatan. Kami harus berpegang satu dengan yang lainnya, berjalan beriringan menyusuri rimbunan pohon diantara ladang- ladang .
Akhirnya kami semua sampai di gapura pintu masuk desa .Terpampang jelas sebuah tulisan “Desa Pesawahan” .Entah siapa yang memberi nama tempat ini dengan sebutan itu,aku tak cukup tahu . Sementara itu kami semua berpisah diujung perempatan untuk menuju kediaman masing-masing.
Aku yang seolah masih tak percaya akan hal ini.Dimana hari-hariku hanya mengerjakan sesuatu dirumah .Tanpa adanya pertemuan dengan teman-teman sekelasku.Ku buka lembaran-lembaran kusam yang biasa disebut dengan ‘buku.Perlahan aku mencoba menikmati dan menerima kenyataan. Meski tanpa bahan pelajaran yang baru,aku terus mengulang kembali materi yang tertulis di buku kusam ini.
Hal ini telah berlangsung cukup lama,aku dan yang lainnya terlalu lelah menanti kabar dari sekolah.Meski Ujian Nasional telah ditiadakan.Aku tetap menginginkan agar bisa menatap bapak Guru mengajar dihadapanku.
Hari itu seseorang datang kerumahku, menyampaikan sebuah pesan yang ditulis dalam lembaran kertas.
“Hari Senin depan sekolah akan dibuka kembali dengan menerapkan protokol kesehatan”
Tulisan dalam kertas tersebut membuat hatiku menangis bahagia.Aku yang selalu mengharapkan temu, akhirnya akan segera terwujud. Rupanya orang yang memberikan surat tersebut adalah Pak Suratman yang merupakan wali kelasku disekolah.Aku gembira bukan main,sampai larut malam aku pun terus membayangkan pertemuanku hari esok.
Sekian lamanya aku jauh dari bangku sekolah.Suasana bising dalam kelasku yang telah lama hilang. Esok aku akan mendengarmu lagi.Tak sabar lagi mengingat pembelajaran daring takan bisa maksimal tanpa alat komunikasi internet.
“Nduk,sudah bangun belum?”
Terdengar suara ibu memanggilku.Rupanya aku terjebak dalam lamunan diantara jendela kecil kamarku ini.
“Sudah Bu, “
Sejenak suara ibu menghilang dan menjauh.Yah,pagi ini adalah hari kembalinya murid-murid kesekolah .Aku beranjak dari lamunanku dan bersiap menuju ke sekolah.
Seperti biasa, teman-temanku yang lain sudah menunggu di bawah gapura pintu masuk desa.Saat aku datang, terlihat raut muka mereka yang begitu bahagia.Akupun demikian.Senyumku tak pernah berhenti,hatiku berdebar kencang layaknya siswa baru yang akan memperkenalkan dirinya di depan kelas.
Sesampainya disekolah , Untuk menghindari kerumunan Pak Suratman wali kelasku membagi beberapa kelompok belajar.Rupanya kegiatan belajar tidak sepenuhnya dilakukan dalam kelas.Himbauan pemerintah yang mengharuskan social distancing diterapkan dalam sekolahku.Pak Suratman menyebut namaku,Yogi,Angga ,Yuli,Andin dan Fatma untuk menjadi satu kelompok belajar yang berada di bawah pohon beringin depan kelasku.
Sementara itu,pak Suratman juga membagi teman-teman yang lain dalam beberapa kelompok kecil.Ada yang di teras kelas dan ada juga yang tetap di dalam kelas.Setelah itu beliau juga membagikan masker kain untuk kami gunakan.Pak Suratman mencontohkan bagaimana cara memakainya,kamisemua mengikuti arahannya dengan baik.
Kami menikmati hal ini,tak ada yang mengeluh.Aku sangat bahagia bisa kembali berdiri diantara teman-temanku.Kembali menerima pelajaran dari Guruku .Meski keadaan belum sepenuhnya pulih,kami disini bertekad untuk tetap menggelar kegiatan pembelajaran seperti biasa.Alat komunikasi kami sangat terbatas,dan jarak masih menjadi halangan .
Lewat pandemi virus ini,aku dapat merasakan kepedihan dalam batin.Memang , barangkali tuhan menciptakan kepedihan ini untuk kita lebih bersabar.Kerinduanku terhadap pembelajaran bisa terbalaskan.Rindu yang kini menjadi temu diantara wabah yang terus menjangkit.Semoga semua ini lekas berlalu dan pergi.