Oleh: Zahwa Aprilita
20 Mei 2024, tertanda seorang siswi telah resmi lulus di sebuah sekolah negeri favorit di daerahnya. Berbekal segudang mimpi, ia mengumpulkan tekad untuk terus melangkah menuju tangga kehidupan selanjutnya. Hendak dibawa kemana impiannya? Bisakah ia menerbangkan sejuta harapan orangtua?
Aku, Zahwa Aprilita. Seorang anak tunggal yang kala itu dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Antara mengikuti kata hati atau kata orangtua. Ditambah setelah ditolak Perguruan Tinggi Negeri dan PTKIN sekaligus di jurusan impian, rasanya untuk membuka mata dan menyapa dunia sangat susah.
Aku malu, bahkan untuk sekadar mengatakan bahwa aku malu. Harapan dan impian seakan pupus. Rencana yang sudah aku susun dari lama hancur lebur diganti pertanyaan, “Terus mau gimana? Akhirnya lanjut dimana?”
Setelah berminggu-minggu meratapi ketidakberuntunganku, aku akhirnya kembali mulai menyusun rencana lagi. Jika satu jalan tertutup, aku akan membuka jalan yang lain. Aku mendaftar Seleksi Nasional Berbasis Tes di PTN dan Mandiri di PTKIN.
BOOMMMM!!! Siapa sangka, aku diterima di keduanya. Sekarang permasalahannya ada di restu orangtua yang berbeda pendapat. Mama menginginkanku untuk ambil Universitas Jenderal Soedirman, sedangkan bapak lebih ingin aku mengambil UIN SAIZU. Lagi dan lagi, bahkan di saat mimpi rasanya sudah di depan mata, dukungan terbesarku malah pecah menjadi dua kubu.
Berhari-hari melewati diskusi panjang dengan orangtua dan keluarga besar, aku akhirnya memutuskan untuk mengambil kesempatan berkuliah di Universitas Islam Negeri Prof. K.H Saifuddin Zuhri dengan jurusan Pendidikan Agama Islam. Belum sampai di situ, kebimbangan masih terus muncul. Mau kos atau mondok, ya?
Dan dari sinilah awal ceritaku masuk di Pesantren Mahasiswa An-Najah Purwokerto. Bapak memintaku untuk belajar mandiri dengan mondok, katanya supaya aku lebih bisa menghargai waktu, bisa berbagi dengan orang lain, dan tau bagaimana susahnya hidup tanpa orangtua. Pikirku saat itu akan mudah karena nantinya pasti ada banyak teman yang membantuku di sana. Aku tidak akan sendirian dan kesusahan.
Pertengahan Agustus, aku pemberangkatan pondok. Pertama kali yang ada dipikiranku bisa tidak ya berproses di sana nantinya, apalagi aku terbiasa hidup bersama orangtua yang perhatiannya hanya tertuju padaku. Sedangkan di pondok, aku harus mengikuti berbagai jadwal kegiatan dan berbaur dengan banyak orang dalam satu ruangan. Tapi lagi-lagi bapak menggugah rasa semangatku, mengatakan kalo di usiaku sekarang memang sudah saatnya memulai petualangan baru, di gerbang kehidupan baru, dengan orang-orang baru pula.
Dan sekarang, di sinilah aku berada. Zahwa Aprilita, anak tunggal yang dulunya masih ditimang, disiapkan berbagai kebutuhannya, ingin makan tinggal ambil, bisa tidur kapan saja, dan tidak perlu berbagi apapun dengan orang lain, harus berproses. Di tempat yang banyak orang sebut “Penjara Suci”, aku memulai satu persatu proses pendewasaan. Meniti tangga kehidupan dengan susah payah dan banyak kejutan di dalamnya, berbekal banyak harapan di pundak. Langkahku memang lambat, tapi aku berusaha untuk tidak merasa tertinggal dengan yang lainnya. Aku selalu membisikkan dalam hati, “Wahai aku, tidak ada yang berlaku keras ataupun memanjakanmu. Jika kamu lelah, maka istirahatlah. Perjalananmu masih panjang.”
*Naskah tersebut merupakan naskah juara satu hasil lomba kepenulisan dengan tema “Senangnya menjadi Santri An Najah” yang diselenggarakan oleh Panitia OPKIS 2024.
Ilustration: (istockphoto.com)
Leave A Comment