Oleh: Dovianti Ainurohmah
Hari itu, Rabu, tanggal 26 Juni 2024, adalah hari yang tak terlupakan bagi saya. Saya berdiri di depan gerbang Pondok Pesantren An Najah Purwokerto, merasa gugup sekaligus bersemangat. Sebagai mahasiswa semester akhir di Universitas Islam Negeri Prof. K.H Saifuddin Zuhri Purwokerto, saya tak pernah menyangka bahwa saya akan memilih jalan ini—jalan yang membawa saya ke pesantren di usia 21 tahun.
Langit cerah sore itu seakan menyambut saya dengan senyum. Saya menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. Meninggalkan kenyamanan rumah untuk tinggal di pesantren adalah keputusan besar, terutama di usia yang lebih dewasa dibandingkan santri-santri lain yang kebanyakan masih remaja. Tetapi, saya yakin ini adalah pilihan terbaik untuk masa depan saya. An Najah bukan hanya sebuah pesantren; tempat ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya ilmu dan karakter, persis seperti yang dikatakan Abah, pengasuh pondok pesantren: “Pesantren kita harus selalu bersih sebersih hotel.” Kalimat itu bukan sekadar aturan kebersihan; bagi saya, itu adalah simbol disiplin dan tanggung jawab. Di sini, saya belajar bahwa menjaga kebersihan lingkungan adalah bagian dari iman, seolah-olah merawat pesantren seperti merawat hati dan jiwa sendiri.
Hari pertama di An Najah, saya dihadapkan pada rutinitas baru yang begitu padat. Dari subuh hingga malam, ada saja aktivitas yang mengisi hari-hari saya. Mulai dari pengajian, hafalan Al-Quran, hingga tugas menjaga kebersihan pondok. Tak jarang, saya harus menyesuaikan diri dengan santri-santri yang jauh lebih muda. Awalnya, saya merasa kikuk, seperti kakak tertua di antara mereka, tetapi lambat laun, saya merasa hangat dengan kehadiran mereka.
Waktu berlalu cepat, pada tanggal 8 Juli – 19 Agustus 2024 saat saya harus menjalani program KKN. Sehari setelah KKN berakhir, saya kembali ke pesantren. Pada tanggal 21 Agustus 2024, saya berdiri di depan gerbang An Najah, kali ini dengan rasa yang berbeda. Perasaan canggung yang dulu ada kini tergantikan dengan rasa nyaman. Saya tahu, ini adalah tempat yang tepat bagi saya untuk melanjutkan pencarian ilmu.
Kembali ke rutinitas pondok, saya menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Dari sekadar mendengarkan nasihat bijak dari Abah, hingga menghabiskan waktu belajar bersama santri lain. Setiap hari, saya merasa semakin dekat dengan tujuan hidup saya. Di An Najah, saya belajar bahwa menuntut ilmu tak mengenal usia. Saya belajar berbaur dengan teman-teman yang lebih muda, menemukan kebahagiaan dalam perbedaan, dan menemukan bahwa ilmu tak hanya diperoleh dari buku, tetapi juga dari pengalaman hidup sehari-hari.
Hari-hari berlalu, saya makin mantap dengan keputusan ini. Saya menyadari bahwa menjadi santri bukan hanya tentang belajar agama atau ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang menjadi manusia yang lebih baik, manusia yang peduli dengan lingkungan sekitar, manusia yang mampu merawat kebersihan, tidak hanya di luar tapi juga di dalam hati.
Di tengah kesibukan sebagai mahasiswa, saya tetap berusaha untuk istiqomah. Semoga perjalanan ini tak hanya menjadikan saya lebih bijaksana, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk belajar, karena menuntut ilmu adalah perjalanan seumur hidup.
*Naskah tersebut merupakan naskah juara dua hasil lomba kepenulisan dengan tema “Senangnya menjadi Santri An Najah” yang diselenggarakan oleh Panitia OPKIS 2024 Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto.
ilustration: open-book-generate-ai_893737-2331.jpg (626×351) (freepik.com)
Leave A Comment